Berbicara tentang Estonia tidak
lepas dari pengalaman negara tersebut tentang cyber attack diantaranya situs
parlemen, partai, pemerintahan, surat kabar dan bank. Sebanyak lima puluh
delapan situs non-aktif pada kejadian tersebut, setelah relokasi monumen Bronze
Soldier era Soviet pada tahun 2007. Kejadian tersebut menjadi sebuah pukulan
besar terhadap sebuah negara bahwa hanya dengan menggunakan elektronik maka
sebuah negara dapat dihancur leburkan.
Tiba-tiba, lampu padam. Jalur
komunikasi terdiam. Koneksi internet terputus. Orang-orang yang berkeliaran di
jalan-jalan yang padat menemukan bahwa bank-bank tutup, ATM tidak berfungsi,
lampu lalu lintas macet. Stasiun radio dan TV tidak dapat menyiarkan. Bandara
dan stasiun kereta ditutup. Produksi makanan terhenti, dan persediaan air mulai
berkurang dengan cepat ketika pompa berhenti bekerja. Para penjarah sedang
mengamuk; kepanikan mencengkeram publik; polisi tidak bisa menjaga ketertiban.
Gambaran suram ini bukanlah
adegan pembuka dari film fantasi Hollywood, tetapi awal dari serangan dunia
maya, seperti yang dijelaskan oleh Sami Saydjari, presiden untuk Pertahanan
Cyber, terhadap Kongres sub-komite pertahanan pada bulan April 2007. Secara
gamblang, ia menggambarkan bagaimana sebuah negara adikuasa dapat direduksi
menjadi status perang dunia ketiga oleh cyber-take-down dari infrastruktur
elektronik suatu negara. Pakar pertahanan menyebut deskripsinya "skenario
yang masuk akal" - dan skenario yang tidak disiapkan Amerika Serikat.
Sekalipun sistem komputer militer biasanya yang biasanya dapat di serang oleh
orang lain. sebagian besar sistem elektronik lokal dapat diserang dan membuat
tidak bias diakses.
Sebelum insiden tersebut, tanggapan terhadap cyber attack belum menjadi masalah serius setiap negara. Semua masih menganggap remeh bahkan mengatakan tidak mungkin cyber attack dapat menjadi hal yang sangat serius. Jadi tidak ada sebuah aturan hukum untuk cyber attack baik dalam bentuk universal maupun kenegaraan. Sebagai contoh, tidak didefinisikan apakah pelanggaran semacam ini akan memenuhi syarat sebagai serangan terhadap negara yang tergabung dalam anggota
NATO. Bahkan tidak jelas apakah suatu negara dapat mendeteksi sebuah cyber attack secara dini.
Jika diibaratkan tidak ada
kejadian yang tidak memiliki hikmah atau tidak ada keburukan yang tidak
melahirkan kebaikan, berdasarkan pengalaman yang luar biasa insiden tersebut
negara Estonia belajar, sekarang, dari satu dekade terakhir Estonia telah
menjadi sebuah negara yang sangat terkenal akan keamanan terhadap Cyber attack,
sehingga menjadi acuan negara-negara lain dan telah menandatangani tentang
pengembangan pelatihan dan kerjasama dalam keamanan cyber dengan Austria,
Luksemburg, Korea Selatan dan NATO. Tahun 2016 pada bulan desember, di Estonia
telah diselenggarakan sebuah pelatihan keamanan cyber attack terbesar oleh NATO,
pelatihan ini dinamakan Cyber Coalition 2016, yang diantara pesertanya adalah
pejabat pemerintahan, militer, pakar hukum, perwakilan industry dan akademisi
pada aliansi negara mitra NATO.
Budapest convention
Cybercrime telah ada selama lebih
dari 40 tahun. The Council Eropa telah menangani topik ini dari sudut pandang
hukum pidana sejak pertengahan 1980-an dan seterusnya. Pada tahun 2001, masalah
ini menjadi cukup penting untuk menjamin ikatan perjanjian internasional.
Dinegosiasikan oleh negara-negara anggota Dewan Eropa bersama dengan Kanada, Jepang,
Afrika Selatan dan Amerika Serikat, Konvensi tentang Kejahatan Dunia Maya
dibuka untuk ditandatangani di Budapest, Hongaria, pada bulan November 2001.
Sejak itu, information and communication technologies (ICT) telah mengubah masyarakat di seluruh dunia. Mereka juga membuat mereka sangat rentan terhadap risiko keamanan seperti kejahatan dunia maya. Sementara itu adanya pengakuan akan perlunya memperkuat keamanan, kepercayaan pada TIK dan untuk memperkuat supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia di dunia maya, semua hal yang “cyber” sekarang sebutannya telah menjadi sangat penting. Ketika mereka menyentuh hak-hak dasar individu serta kepentingan nasional (keamanan) Negara, semakin sulit untuk mencapai konsensus solusi Bersama tingkat internasional.
Untuk mengatasi dilema ini, pendekatan yang paling masuk akal adalah dengan fokus pada standar umum yang sudah ada dan berfungsi, seperti Konvensi Budapest tentang Kejahatan Dunia Maya, dan pada pendekatan yang ada kesepakatan luas, khususnya, pengembangan kapasitas.
Pengalaman dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa pengembangan kapasitas memang merupakan cara yang efektif untuk membantu masyarakat memenuhi tantangan cybercrime.
Secara umum, komitmen politik,
rujukan ke standar internasional umum, dan partisipasi berkelanjutan dalam
tinjauan tingkatan internasional, meningkatkan peluang keberhasilan program
pengembangan kapasitas dari perjanjian tersebut.
Untuk Dewan Eropa, Konvensi Budapest, Komite Konvensi Kejahatan CyberSpace dan pembangunan kapasitas oleh C-PROC membentuk "segitiga dinamis":
Program pengembangan kapasitas mendukung pelaksanaan Konvensi Budapest serta rekomendasi dari Komite Konvensi Kejahatan Dunia Maya; dan pada saat yang sama, pengalaman program peningkatan kapasitas dimasukkan kembali ke dalam Komite dan evolusi lebih lanjut dari Konvensi.
Keterlibatan jangka panjang “negara-negara proyek” dalam Komite Konvensi Kejahatan Dunia Maya membantu mempertahankan proses di luar siklus hidup masing-masing proyek.
Lalu apa keterkaitan dengan Indonesia tentang UU ITE 2008?
Tebel berikut untuk melihat
bagaimana perbandingan dan kaitan antara UU ITE 2008 dengan Budapest Convention
No
|
Konvensi Budapest
|
Tentang
|
UU ITE Tahun 2008
|
1
|
Pasal 1
|
Defenisi
|
Pasal 1,5
|
2
|
Pasal 2
|
Akses Ilegal
|
Pasal 30
|
3
|
Pasal 3
|
Penyadapan Ilegal
|
Pasal 31
|
4
|
Pasal 4
|
Gangguan Data
|
Pasal 32
|
5
|
Pasal 5
|
Gangguan Sistem
|
Pasal 33
|
6
|
Pasal 6
|
Penyalagunaan
Perangkat
|
Pasal 34
|
7
|
Pasal 7
|
Pemalsuan yang
berhubungan dengan computer
|
Pasal 35
|
8
|
Pasal 8
|
Penipuan yang
berhubungan dengan computer
|
Pasal 35
|
9
|
Pasal 9
|
Pelanggaran
berkaitan dengan computer
|
Pasal 27
|
10
|
Pasal 10
|
Pelanggaran yang
berkaitan dengan hak cipta dan hak-hak lainya
|
Pasal 23, 24, 25, 26
|
11
|
Pasal 11
|
Mencoba dan menolong
atau membantu
|
–
|
12
|
Pasal 12
|
Pertanggujawaban
Perusahaan
|
Pasal 9, 10
|
13
|
Pasal 13
|
Sanksi-sanksi dan
tindakan-tindakan
|
Pasal 45, 46, 47,
48, 49, 50, 51, 52
|
14
|
Pasal 14
|
Ruang lingkup
pengaturan hukum acara formil
|
Pasal 17, 43
|
15
|
Pasal 15
|
Persyaratan-persyaratan
dan pengamanan-pengamanan
|
Pasal 12
|
16
|
Pasal 16
|
Percepatan
pemeliharaan dan computer yang disimpan
|
–
|
17
|
Pasal 17
|
Percepatan
penyimpanan dan pengungkapan parsial dari data arus
|
–
|
18
|
Pasal 18
|
Perintah penyerahan
|
–
|
19
|
Pasal 19
|
Pencarian dan
penyitaan data computer
|
Pasal 43, 44
|
20
|
Pasal 20
|
Pengumpulan data
arus secara langsung (realtime)
|
Pasal 31
|
21
|
Pasal 21
|
Penyadapan data isi
|
Pasal 31
|
22
|
Pasal 22
|
yuridiksi
|
Pasal 2
|
Source
Sumber Tabel: https://penakuliah.wordpress.com/2015/12/09/konvensi-budapest-terhadaphukum-indonesia/
0 comments:
Posting Komentar